Putusan MK, Kerusuhan di Du-May tak Masuk Delik Pidana

Putusan Mahkamah Konstitusi

Angin Segar Buat Warga Net

CJ Online – Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pertama kali diundangkan pada tahun 2008 dengan tujuan untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan sistem informasi dan transaksi elektronik di Indonesia. UU ini bertujuan untuk melindungi keabsahan data elektronik dan transaksi dalam dunia maya, menciptakan keadilan dan kepastian hukum, serta mengatur perilaku di dunia digital. Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai kontroversi muncul terkait penerapan pasal-pasal dalam UU ITE, terutama yang mengatur tentang pencemaran nama baik dan penyebaran informasi yang melanggar hukum. Kontroversi tersebut berakar dari fakta bahwa beberapa pasal dalam UU ITE dinilai terlalu luas dan dapat disalahgunakan, sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat mengenai potensi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi. Dalam beberapa kasus, individu dan kelompok diadili berdasarkan pasal-pasal UU ITE, yang dianggap tidak proporsional dan mengancam kebebasan berpendapat. Hal ini membawa dampak sosial yang signifikan, di mana masyarakat menganggap bahwa UU ITE dapat menjadi alat untuk memenjarakan kritik dan menghambat diskusi publik. Menanggapi berbagai keluhan ini, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan untuk meninjau beberapa ketentuan dalam UU ITE. Dalam sidang uji materi, MK menyatakan bahwa pasal-pasal tertentu tidak dapat diterapkan sebagai pidana karena mengandung unsur ketidakpastian dan berpotensi merugikan masyarakat. Putusan ini membawa angin segar dan menjadi langkah penting dalam menjaga keseimbangan antara perlindungan hukum dan hak untuk berbicara di hadapan publik. Dengan demikian, keputusan MK terkait UU ITE tidak ada pidana berupaya menjawab tantangan hukum dan menjamin bahwa kebebasan berekspresi tetap terjaga tanpa mengabaikan aspek perlindungan hukum yang berlaku Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa kerusuhan atau keributan di ruang digital, seperti media sosial, tidak masuk dalam delik pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal itu dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang putusan perkara nomor 115/PUU-XXII/2024 di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Selasa (29/4/2025).  “Menyatakan kata ‘kerusuhan’ dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6905) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Suhartoyo, Selasa.  “Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber,'” ujar dia melanjutkan. ( Dikutip dari Media Kompas.com)

Dampak Keputusan MK Terhadap Pengguna Internet

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UU ITE tidak ada pidana membawa dampak signifikan bagi pengguna internet di Indonesia. Salah satu dampak utama adalah peningkatan kebebasan berekspresi. Sebelumnya, banyak pengguna yang merasa terancam dan khawatir untuk menyampaikan pendapat di platform digital. Dengan keputusan ini, individu dapat lebih leluasa dalam mengekspresikan pandangan dan ide tanpa rasa takut akan tindakan hukum yang tidak adil. Kebebasan ini sangat penting dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam ruang publik, terutama dalam konteks diskusi sosial dan politik. Di sisi lain, keputusan ini juga akan berimplikasi pada aspek keamanan digital. Masyarakat diharapkan lebih aktif dalam berpartisipasi di dunia maya tanpa merasa dibayangi oleh ketakutan akan ancaman hukum. Namun, ini juga berarti bahwa pengguna harus lebih bijaksana dalam menggunakan internet. Meskipun UU ITE yang selama ini memberikan sanksi pidana dicabut, penting untuk diingat bahwa etika dan norma dalam berkomunikasi di dunia digital tetap harus dihormati. Masyarakat perlu memahami batasan-batasan yang ada, seperti penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian, yang tetap berpotensi menjadi masalah meskipun tidak secara langsung terikat dengan hukum. Perlindungan hukum bagi masyarakat digital menjadi kunci untuk memastikan bahwa kebebasan yang diberikan tidak disalahgunakan. Setelah keputusan ini, diharapkan akan ada penguatan dalam upaya perlindungan data pribadi dan keamanan siber. Pengguna internet harus menyadari hak-hak mereka dan memiliki akses terhadap cara-cara untuk melindungi diri dari potensi risiko di dunia digital. Dengan demikian, keputusan Mahkamah Konstitusi tentang UU ITE tidak ada pidana membuka peluang bagi masyarakat untuk mengeksplorasi dunia maya secara lebih luas, namun juga menuntut tanggung jawab dalam setiap tindakan online mereka.

Reaksi Publik dan Ahli Hukum

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai UU ITE yang menyatakan bahwa tidak ada pidana bagi pengguna, telah memicu berbagai reaksi dari masyarakat dan ahli hukum. Berita mengenai keputusan ini tersebar luas, dengan sejumlah media massa melaporkannya secara langsung. Banyak warga merasa lega karena keputusan ini dianggap dapat mengurangi ketakutan akan pemidanaan yang sering terjadi akibat penyalahgunaan UU ITE. Mereka berpendapat bahwa UU ITE selama ini lebih banyak berfungsi sebagai alat untuk membungkam pendapat publik dan mengekang kebebasan berekspresi. Namun, tidak semua reaksi positif mengalir dari masyarakat. Sebagian kalangan merasa bahwa keputusan ini justru bisa berpotensi memunculkan perilaku yang lebih sembrono di dunia maya, karena pelanggaran yang sebelumya dapat dikenakan sanksi pidana kini tidak lagi memiliki konsekuensi hukum. Ahli hukum yang mengkritik keputusan ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap masyarakat dari konten berbahaya, seperti pencemaran nama baik atau penipuan online. Reaksi dari organisasi non-pemerintah juga turut ambil bagian dalam menilai keputusan ini. Banyak dari mereka yang mengapresiasi keputusan MK karena dianggap mempromosikan hak asasi manusia, terutama dalam konteks kebebasan berbicara. Namun, mereka juga menekankan perlunya terdapat regulasi alternatif yang efektif untuk menangani isu-isu serupa tanpa mengarah pada kriminalisasi. Untuk itu, mereka mendesak pemerintah dan lembaga terkait untuk memikirkan langkah-langkah hukum selanjutnya yang dapat mengakomodasi kepentingan publik. Dalam pandangan serupa, para pakar hukum mengusulkan penelitian lebih lanjut tentang dampak jangka panjang dari keputusan ini terhadap lingkungan digital dan pembentukan regulasi yang lebih adil. Hal ini penting guna memastikan bahwa UU ITE tetap berfungsi secara efektif, tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat.

Implikasi Hukum dan Kebijakan Ke Depan

Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai UU ITE tidak ada pidana menandai babak baru dalam tatanan hukum di Indonesia. Dalam konteks ini, muncul sejumlah implikasi signifikan yang dapat mempengaruhi kebijakan dan regulasi terkait teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di masa depan. Pertama-tama, keputusan ini mendorong perlunya revisi UU ITE yang ada untuk memastikan bahwa kebebasan berekspresi tetap terjaga sambil tetap melindungi masyarakat dari penyalahgunaan teknologi, seperti ujaran kebencian dan penipuan online. Dengan ditolaknya beberapa aspek pidana dalam UU ITE, legislator diharapkan dapat menyusun kerangka hukum yang lebih responsif dan seimbang. Ini mencakup upaya untuk memperkuat mekanisme hukum yang mengatur konten digital, dengan tetap menghormati hak individu untuk berkomunikasi secara bebas dan terbuka. Keterlibatan masyarakat sipil dalam pembahasan mengenai perundang-undangan ini juga menjadi sangat penting, mengingat mereka adalah pihak yang akan terpengaruh langsung oleh kebijakan yang dihasilkan. Tak kalah penting, pemerintah dan lembaga terkait perlu mengadopsi langkah-langkah preventif untuk mengantisipasi tantangan baru yang muncul akibat perkembangan teknologi. Ini termasuk penguatan edukasi mengenai literasi digital agar masyarakat lebih bijak dalam menghadapi arus informasi di dunia maya. Adanya pelatihan dan kampanye sosialisasi tentang penggunaan internet yang aman dan bertanggung jawab juga harus menjadi agenda utama. Secara keseluruhan, keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai UU ITE tidak ada pidana dapat menjadi momentum untuk reformasi kebijakan yang lebih mengedepankan hak asasi manusia dalam ruang publik digital. Oleh karena itu, diskusi dan kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem hukum yang mendukung pertumbuhan TIK yang sehat dan bertanggung jawab.( red )

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *